Minggu, 19 November 2017

Resensi Tafsir Jalalain

TAFSIR QUR’AN ‘ADZIM
(Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Mahalli dan Syaikh Jalaluddin ‘Abdurrrahman bin Abi Bakar Suyuthi)
Oleh    : Wiwik Ayu Hidayati
Pendahuluan
            Banyak kitab tafsir yang kita temui, seperti kitab tafsir karya Ibnu Katsir, Mahmud Yunus, Mahmud Ayyub, dll. Termasuk kitab Tafsir Jalalain yang tak kalah dengan kitab tafsir yang lain. Yang menarik dari kitab Tafsir Jalalain adalah kitab ini dikarang oleh dua Imam Jalalain yaitu Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Mahalli (Mahalli) dan Syaikh Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abi Bakar Suyuthi (Suyuthi). Kitab ini terbagi atas dua juz. Juz yang pertama berisi tafsir surat al-Baqarah sampai surat al-Isra’ yang disusun oleh Jalaluddin al-Suyuthi, sedangkan juz yang kedua berisi tafsir surat al-Kahfi sampai surat al-Naas ditambah dengan tafsir surat al-Fatihah yang disusun oleh Jalaluddin al-Mahalli.
            Tafsir ini masih banyak dipelajari di Indonesia, terutama di pondok pesantren, termasuk pesantren yang saya tempati saat ini. Karena memang kitab tafsir ini mudah difahami karena menggunakan kata-kata yang sederhana.
A.    SEJARAH PENULISAN TAFSIR KARYA JALALAIN
Dalam kitab tafsir Jalalain terdapat sejarah dan biografi penulis yang terletak ditengah antara penafsiran Imam Suyuthi dan Mahalli.  Ada dua hal yang menjadi latar belakang ditulisnya kitab tafsir ini, pertama keprihatinan sang mufassir akan merosotnya bahasa arab dari kurun ke kurun dikarenakan banyaknya bahasa ajam (selain arab) yang masuk ke negara arab, seperti bahasa persi, turki, dan india. Sehingga mempengaruhi kemurnian bahasa Al-Qur’an sendiri, bahasa arab semakin sulit untuk difahami oleh orang arab asli karena susunan kalimatnya berangsur-angsur semakin berbelok kepada gramatika lughot ajam. Kosa katapun banyak bermunculan dari lughot selain arab, sehingga menyulitkan untuk mengerti yang mana bahasa arab dan yang mana bahasa ajam. Hal inilah yang dikelnal “Zuyu’ al Lahn” (keadaan dimana perubahan mudah ditemui) sehingga banyak kaidah-kaidah nahwu dan shorof dilanggar. Kedua, Al-Qur’an telah diyakini sebagai sumber bahasa arab yang paling autentik, maka untuk mendapatkan kaidah yang benar, pegkajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an harus dilakukan.
Tafsir ini semula ditulis oleh imam jalaludin al-mahally, mulai dari surat Al-Isro’ hingga akhir dari surat An-Naas, kemudian setelah beliau selesai menafsrkan surat Al-Fatihah, ternyata beliau sudah didahului panggilan dari sang pencipta, kemudian dilanjutkan oleh  Imam Jalauddin Suyuti, beliau menyempurnakan tafsir Mahalli, yaitu menafsirkan ayat Al-Qur’an  mulai dari surat Al-Baqoroh  hingga akhir surat Al-Isro’. Akan tetapi, banyak yang salah faham mengenai masalah ini, banyak yang mengira bahwa Mahalli lah yang mengarang jalalain mulai awal hingga pertengahan, selebihnya diteruskan oleh As-Suyuthi, ini adalah pemahaman yang salah.
Oleh karena itu, As-Suyuthi menaruh surat Al-Fatihah berada di bagian belakang, tidak seperti tafsir-tafsir yang lain yang mendahulukan surat ini sebelum yang lainnya, karena beliau berkehendak supaya surat Al-Fatihah berkelompok menjadi satu dengan surat-surat yang lain yang telah ditafsirakan oleh gurunya, Al-Mahally.
B.     CORAK PENAFSIRAN
Penafsiran Mahalli dan Suyuti dalam tafsir Jalalain tidak menggunakan sistem periwayatan, namun menggunakan ijtihad. Jadi kitab ini menggunakan tafsir bil ra’yi. Hal tersebut, nampak dengan jelas ketika kita melihat tafsir jalalain. Tafsir jalalin dapat digolongkan tafsir yang menggunakan metode ijmali, karena sang mufassir telah memaparkan penjelasannya secara global pada tafsir ini, bahkan penafsirannya sangat sedikit, bisa jadi yang mendengar tafsirannya dikira lafadz Qur’annya. Serta dapat digolongkan juga pada metode tahlily, dengan penafsiran yang mencakup beberapa aspek keilmuan, seperti segi bahasa, maksud sebuah ayat, asbab an Nuzul, dan lain lain.
 Mahalli dan Suyuti dalam tafsirnya sangat sedikit ditemukan periwayatan hadits. Salah satunya, ketika as-Suyuti menafsirkan surat al-Baqarah ayat 45
{ واستعينوا } اطلبوا المعونة على أموركم { بالصبر } الحبس للنفس على ما تكره { والصلاة } أفردها بالذكر تعظيما لشأنها وفي الحديث « كان صلي الله عليه وسلم إذا حَزَبَهُ أمر بادر إلى الصلاة » وقيل . الخطاب لليهود لمّا عاقهم عن الإيمان الشَّرَهُ وحب الرياسةأمروا بالصبر وهو الصوم لأنه يكسر الشهوة ، والصلاة لأنها تورث الخشوع وتنفي الكبر { وَإِنَّهَا } أي الصلاة { لَكَبِيرَةٌ } ثقيلة { إِلاَّ عَلَى الخاشعين } الساكنين إلى الطاعة .
(Mintalah pertolongan) dalam menghadapi urusan atau kesulitan-kesulitanmu (dengan jalan bersabar) menahan diri dari hal-hal yang tidak baik (dengan salat). Khusus disebutkan di sini untuk menyatakan bagaimana pentingnya salat itu. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa jika Nabi saw. hatinya risau disebabkan sesuatu masalah, maka beliau segera melakukan salat. Ada pula yang mengatakan bahwa perkataan ini ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang terhalang beriman disebabkan ketamakan dan ingin kedudukan. Maka mereka disuruh bersabar yang maksudnya ialah berpuasa, karena berpuasa dapat melenyapkan itu. Salat, karena dapat menimbulkan kekhusyukan dan membasmi ketakaburan. (Dan sesungguhnya ia) maksudnya salat (amat berat) akan terasa berat (kecuali bagi orang-orang yang khusyuk) yang cenderung kepada berbuat taat.
C.    KARAKTERISTIK TAFSIR
Selain menjelaskan maksud setiap kata, ungkapan atau ayat, kitab ini menjelaskan faktor kebahasaan dengan menggunakan cara-cara berikut : langsung menerangkan kata dari segi sharafnya.  Jika hal itu di anggap pentig untuk diperhatikandengan mengambil bentuk struktur bentuk (wazan) katanya, menerangkan makna kata atau padanan kata (sinonim) jika dianggap belum dikenal atau mengandung makna yang agak khusus, dan menjelaskan fungsi kata (subyek, obyek, predikat atau yang lain) dalam kalimat. Menurut ilmu tafsir, cara penafsiran seperti itu disebut metode tahlily.”
Adapun mengenai corak tafsir ini, menurut saya lebih condong untuk menamainya dengan corak  sastra budaya kemasyarakata. Karena didalamnya tidak hanya terdapat penjelasan mengenai kebahasaan, akan tetapi juga banyak membahas cerita-cerita kemasyarakatan pada zaman dahulu. Seperti kisah Nabi Yusuf, Kisah Nabi Lut, dll.
D. TEKNIK PENAFSIRAN TAFSIR JALALAIN
Ada beberapa teknik yang digunakan menafsirkan pada tafsir jalalain, diantaranya sebagaia berikut :
1.      Pada awal surat, mufassir menerangkan tentang nama surat, banyaknya ayat (beserta perbedaan pendapat tentang banyaknya, jika ada), serta tergolong madaniyah atau makkiyah-kah surat tersebut. Serta terkadang menyebutkan pengecualian-pengecualian pada beberapa ayat yang bukan termasuk makiyah, atau tidak termasuk Madaniyah. Contoh : Pada surat Al-Baqoroh,
)سورة البقرة(
 مدنية مائتان وست أو سبع وثمانون آية
Tertera bahwa surat tersebut termasuk surat Madaniyyah, banyaknya ayat ada 286 atau 287, karena ada perbedaan pendapat mengenai banyaknya ayat pada surat ini.
سورة التوبة
) مدنية إلا الآيتين الأخيرتين فمكيتان وآياتها 129 نزلت بعد المائدة (
Begitu juga yang tertulis pada awal surat Al-Fatihah,
(سورة الفاتحة)
مكية سبع آيات بالبسملة إن كانت منها والسابعة صراط الذين إلى آخرها وان لم يكن منها فالسابعة غير المغضوب إلى آخرها
Beliau mengatakan ada 7 ayat, tapi yang diperdebatkan adalah keberadan basmalah.
2.      Menyebutkan tentang Asbabun Nuzul tentang suatau ayat, baik disebutkan sebelum ayat atau sesudahnya. Contoh :  Pada Surat Al-Falaq, telah disebut asbabun Nuzul sebelum ayatnya
(سورة الفلق)
مكية أو مدنية وآياتها خمس نزلت هذه السورة والتي بعدها لما سحر لبيد اليهودي النبي صلى الله عليه و سلم في وتر به إحدى عشرة عقدة فأعلمه الله بذلك وبمحله فأحضر بين يديه صلى الله عليه و سلم وأمر بالتعوذ بالسورتين فكان كلما قرأ آية منها انحلت عقدة ووجد خفة حتى انحلت العقد كلها وقام كأنما نشط من عقال
Atau sesudah disebutkan ayatnya, seperti :
( ومن أظلم ) اي لا أحد أظلم ( ممن منع مساجد الله أن يذكر فيها اسمه ) بالصلاة والتسبيح ( وسعى في خرابها ) بالهدم أو التعطيل نزلت إخبارا عن الروم الذين خربوا بيت المقدس أو في المشركين لما صدوا النبي صلى الله عليه و سلم عام الحديبية عن البيت
3.      Penafsiran ayat-ayat mutasyabihat, Imam Jalalain mengembalikan kepada yang maha mengetahui. Contoh pada permulaan-permulaan ayat, seperti الم, طه, يس, كهيعص,  dan lain-lain, mufassir hanya memberikan komentar الله اعلم بمراده بذلك “ Allah lebih tahu mengenai apa yang dimaksudkan akan hal itu”. 
4.      Menafsirkan suatau kata dengan kata yang muroddif (sama) dengannya. Contoh :
( اهدنا الصراط المستقيم ) أي أرشدنا إليه
Kata اهدي  dan ارشد  sama-sama berarti menunjukkan.
5.      Menjelaskan tentang susunan kalimat pada suatu ayat. Contoh :
( ذلك ) اي هذا ( الكتاب ) الذي يقرؤه محمد ( لا ريب ) ولاشـك
 ( فيه ) أنه من عند الله وجملة النفي خبر مبتدؤه ذلك والإشارة به للتعظيم ( هدى ) خبر ثان أي هاد ( للمتقين ) الصائرين إلى التقوى بامتثال الأوامر واجتناب النواهي لاتقائهم بذلك النار
6. Menjelaskan suatu ayat dengan ayat lain  yang saling berkaitan (munasabah). Contoh :
( يومئذ ) يوم المجيء ( يود الذين كفروا وعصـوا الرسـول لو ) اي أن
( تسوى ) بالبناء للمفعول والفاعل مع حذف إحدى التاءين في الأصل ومع إدغامها في السين اي تتسوى ( بهم الأرض ) بأن يكونوا ترابا مثلها لعظم هوله كما في آية أخرى ( ويقول الكافر يا ليتني كنت ترابا ) ( ولا يكتمون الله حديثا ) عما عملوه وفي وقت آخر يكتمونه ويقولون ( والله ربنا ما كنا مشركين )
6.      Mengutip satu ayat sampai selesai, kemudian bari dilanjutkan dengan penafsiran,
( قل أعوذ برب الناس ) خالقهم ومالكهم خصوا بالذكر تشريفا لهم ومناسبة للاستعاذة من شر الموسوس في صدورهم
7.      Menggunakan pemotongan kata :
( ذلك ) اي هذا ( الكتاب ) الذي يقرؤه محمد ( لا ريب ) ولاشك

( فيه ) أنه من عند الله وجملة النفي خبر مبتدؤه ذلك والإشارة به للتعظيم
MAKALAH
IDENTITAS NASIONAL, NEGARA DAN ASPEK-ASPEK KENEGARAAN
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Kewarganegaraan
Dosen Pengampu : Ghaida Zukhruf Tsaniatsnaini, M. Pd.
10444677_821865241218865_1533014579482980804_n

Disusun Oleh :
1.      Wiwik Ayu Hidayati        (53020160001)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017



KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi atas  terlesaikannya makalah ini.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga nantinya bisa dijadikan bahan bacaan serta rujukan.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Salatiga, 18 September 2017

Penyusun



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Identitas merupakan unsur pertama yang paling penting bagi seseorang. Bahkan bisa dikatakan, identitas lebih penting dari kehidupan itu sendiri. Dalam arti bahwa identitas seseorang dapat terus hidup sepanjang sejarah, meskipun orang tersebut telah mati. Demikian pula dengan identitas nasional sebuah bangsa.
Suatu  negara dapat dikatan negara, jika memiliki suatu identitas atau jati diri. Karena sebagai negara yang besar, Indonesia membutuhkan identitas yang akan membedakan negara Indonesia dengan negara lainnya, serta memiliki ciri khusus  dimata dunia internasional.
Jatidiri nasional itu kita adopsi dari nilai-nilai agama dan kebudayaan yang kita yakini kebenarannya. Jika ada yang mengatakan bangsa Indonesia adalah bangsa yang beradab, berbudaya dan beretika, maka itulah jati diri nasional bangsa Indonesia. Jati diri semacam ini harus dipupuk dan dilestarikan, sehingga kita tetap digolongkan oleh bangsa lain sebagai sukubangsa yang beradab.
Menanamkan rasa cinta tanah air dengan belajar segiat mungkin serta menanamkan jiwa bangsa Indonesia yang beradab seperti apa yang telah tertera pada pedoman-pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Hidup berbangsa dan bernegara tentu harus mengetahui pula apa itu negara, tujuan dan fungsi adanya suatu negara serta aspek-aspek kenegaraan. Agar kita senantiasa mengerti bagaimana menjadi warga negara Indonesia yang sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.
Maka dalam makalah ini, penulis berupaya menyusun materi mengenai identitas nasional Indonesia, apa itu negara serta mencantumkan apa saja aspek-aspek kenegaraan. Dengan harpan dapat membantu kepada pembaca menuju jalan untuk mengenal bangsa sendiri serta bisa menerapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian identitas nasional?
2.      Apa hakikat Negara?
3.      Apa saja unsur-unsur Negara?
4.      Apa tujuan dan fungsi Negara?
C.     Tujuan
1.      Untuk menjelaskan identitas nasional
2.      Untuk menjelaskan hakikat negara
3.      Untuk menjelaskanapa saja unsur-unsur Negara
4.      Untuk menjelaskan tujuan dan fungsi Negara



BAB II
PEMBAHASAN
A.              Pengertian Identitas Nasioanl
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tertera bahwa identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang. Sedangkan kata Nasional ialah bersifat kebangsaan, berkenaan atau berasal dari bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa. Maka jika digabungkan, identitas nasional adalah keadaan khusus yang berkenaan dengan bangsa itu sendiri. Tentu saja yang dimaksudkan disini yaitu bangsa Indonesia.
Definisi identitas nasional secara terminologi adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang digunakan untuk membedakan bangsa tersebut dengan bangsa yang lain.
Jadi identitas nasional Indonesia merupakan jati diri yang dimiliki oleh warga negara Indonesia yang digunakan untuk membedakan negara Indonesia dengan negara lain.
Tujuan dari adanya identitas nasional itu sendiri yaitu dijadikan pedoman bagi warga negara dalam bertindak dan bertingkah laku. Seseorang yang memiliki identitas nasional,ia harus memiliki peradaban yang tinggi. Karna itu merupakan jatidiri bangsa Indonesia.
Identitas Nasional Indonesia tercantum dalam konstitusi Indonesia, yaitu UUD 1945:
1.        Pasal 1 ayat (1); Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
Identitas ini merupakan identitas utama. Maka sudah selayaknya ditempatkan pada urutan pertama dalam undang-undang. Bentuk negara Indonesia sebelumnya sudah pernah mengalami perubahan menjadi Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Namun tidak bertahan lama, karena pada 17 Agustus 1950 kembali menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia.
2.        Pasal 35; Bendera Negara Indonesia ialah sang merah Putih
Dua warna pada bendera kebanggaan kita merupakan simbol yang menjadikan semangat ketika kita memandanginya. Warna putih yang melambangkan kesucian, serta merah lambang keberania. Suci dalam segala tindakan-tindakan, perkataan dan berfikir sesuai ajaran agama. Warna merah merupakan lambang begitu gagah berani rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan serta mempertahan kemerdekaan hingga saat ini dapat kita rasakan Indonesia yang merdeka bersatu dengan bendera yang satu yaitu bendera merah putih.
3.         Pasal 36; Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia
Ikrar yang diperingati setiap tahun oleh bangsa Indonesia ini memperlihatkan betapa pentingnya bahasa indonesia bagi bangsa Indonesia. Sesudah Indonesia merdeka, bahasa Indonesia lebih berkembang lagi dengan baik dan meluas. Itulah bahasa persatuan bangsa Indonesia.
4.        Pasal 36A; Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Garuda dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah sebagai burung besar pemakan daging yang menyerupai elang dan mempunyai kekuatan terbang yang luar biasa. Namun sekarang sudah punah. Yang kedua, garuda dalam KBBI juga disebutkan sebagai lambang negara Indonesia berupa gambar burung garuda dengan bulu sayap berjumlah 17, bulu ekor 8, bulu leher 45, cakar mencengkeram pita bertuliskan bhineka Tunggal Ika dan berperisai lambang pancasila didadanya.
5.             Pasal 36B; Lagu kebangsaan ialah Indonesia Raya
Lagu ini sangat cocok dijadikan sebagai lagu kebangsaan. Selain nadanya yang semangar, lagu itu juga memilki lirik yang penuh makna. Contoh saja, “bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia raya” urutan yang membangun karakter bangsa, bahwa membangun jiwa lebih didahulukan.
B.        Hakekat Negara
        1. Pengertian Negara
                             Istilah Negara diterjemahkan dari kata asing staat (bahasa Belanda dan Jerman); State (bahasa Inggris); Etat (bahasa prancis).
                             Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Negara adalah :
a.       Organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat.
b.      Kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi dibawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.
                                Kata “negara” memilki dua arti. Pertama, negara adalah masyarakat atau wilayah yang merupakan suatu kesatuan politis. Kedua, negara adalah lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis yang menata dengan demikian menguasai wilayah itu.1
                                Jadi, dapat disimpulkan bahwa negara adalah organisasi tertinggi diantara satu kelompok atau beberapa kelompok masyarakat yang memilki cita-cita untuk bersatu, hidup didalam daerah tertentu dan mengakui adanya pemerintahan yang berdaulat, mengurus tata tertib dan keselamatan suatu kelompok atau beberapa kelompok manusia.

C.    Unsur-Unsur Negara
Terwujudnya suatu negara apabila telah memenuhi tiga unsur sebagaikesatuan politik, yaitu: penduduk, wilayah dan pemerintah yang berdaulat.2
1.      Penduduk
          suatu negara yaitu mereka yang tinggal di wilayah negara.Penduduk atau sama dengan rakyat diartikan sebagai sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh rasa persamaan dan
bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu. Tanpa adanya penduduk, negara merupakan suatu fiksi besar.
2.      Wilayah
              Unsur kedua yang harus dimilki oleh suatu negara adalah wilayah. Wilayah merupakan landasan fisik yang harus dimilki oleh suatu negara. Sekelompok manusia dengan pemerintahan tidak dapat menimbulkan adanya negara, apabila kelompok itu tidak menetap pada suatu wilayah tertentu.
3.      Pemerintah
Pemerintah juga merupakan  salah satu diantara tiga unsur yang dimiliki oleh negara. Meskipun telah ada sekelompok orang yang telah tingal menetap dalam suatu wilayah tertentu, tapi tanpa adanya segelintir orang yang berwenang  mengatur dan memimpin negara itu, maka negara belum dapat terwujud. Maka, pemerintah disini dapat diartikan sebagai suatu organisasi yang mengatur dan memimpin suatu negara. Pemerintah yang melaksanakan tujuan-tujuan negara, menjalankan fungsi-fungsi kesejahteraan bersama.
D.   Tujuan dan Fungsi Negara
                     Menurut  Plato, negara timbul karena adanya kebutuhan-kebutuhan umat manusia. Sedangkan manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya yang banyak dan berbeda-beda, maka dibentuklah negara. Demikian pula pendapat Aristoteles, bahwa negara dibentuk dengan tujuan menyelenggarakan hidup yang layak bagi warga negaranya.3
[1]                   Negara Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip demokrasi konstitusional menegaskan tujuan negaranya terdapat pada alinea pembukaan UUD 1945, untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dimimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.




BAB IV
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Uraian di atas dapat di simpulkan bahwa :
1.      Identitas Nasional adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang digunakan untuk membedakan bangsa tersebut dengan bangsa yang lain. Atau merupakan jati diri yang dimiliki oleh warga negara Indonesia dengan tujuan untuk dijadikan pedoman bagi warga negara dalam bertindak dan bertingkah laku. Seseorang yang memiliki identitas nasional,ia harus memiliki peradaban yang tinggi. Karena itu merupakan jatidiri bangsa Indonesia.
2.      Hakikat Negara adalah organisasi tertinggi diantara satu kelompok atau beberapa kelompok masyarakat yang memilki cita-cita untuk bersatu, hidup didalam daerah tertentu dan mengakui adanya pemerintahan yang berdaulat, mengurus tata tertib dan keselamatan suatu kelompok atau beberapa kelompok manusia.
3.      Unsur-unsur Negara terdiri : Wilayah, Penduduk dan Pemerintah
4.      Tujuan Negara adalah menyelenggarakan hidup yang layak bagi warga negaranya, agar warga Negara merasa aman dan nyaman berada di Negara tersebut.         
B.     Saran
            Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, kedepannya semoga lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentu dapat di pertanggung jawabkan.

Daftar Pustaka
UUD 1945.pdf
Huda, Ni’matul, (2010). Ilmu Negara Jakarta. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada
Ubaidillah, A, (2000). Pendidikan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani. Jakarta : IAIN Jakarta Press




1Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2010) , h. 2
2A. Ubaidillah, Pendidikan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani (Jakarta : IAIN Jakarta Press, 2000), h. 50  
[1]3 Ibid., h. 54
MAKALAH TAFSIR FALSAFI
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Al-Qur’an
Dosen Pengampu : Farid Hasan, S.Th I, M. Hum.

Disusun Oleh :
1.      Wiwik Ayu Hidayati     (53020160001)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya sebagai hudan linnas dan sebagai kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang. Pada saat al-Qur’an diturunkan, Rasulullah yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan al-Qur’an khusunya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. [1]Penafsiran al-Qur’an memiliki peran penting dalam kemajuan umat. Penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan dan berbagai corak pemikiran penafsiran al-Qur’an.
Penfsiran al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam. sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui kandungan al-Qur’an serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir al-Qur’an pun terus berkembang, baik pada masa uama salaf maupun khalaf bahkan sampai dewasa ini. Pada tahapan-tahapan perkembangannya, muncullah karakteristik yang berbeda-beda dalam metode maupun coraknya.[2]  Adapun macam-macam corak tafsir al-Qur’an antara  lain: tafsir falsafi, tafsir fiqhi, tafsir sufi, dll. Pada makalah ini saya akan membahas tafsir falsafi. Tafsir Falsafi berarti Penjelasan tentang kebenaran makna ayat Quran dengan menggunakan petunjuk yang nyata, serta menggunakan pola pikir yang radikal, sistematis dan universal agar didapat satu kebenaran yang rasional.




B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan tafsir falsafi?
2.      Bagaimana metode penafsiran menggunakan tafsir falsafi?
3.      Bagaimana sejarah munculnya tafsir falsafi?
4.      Siapa tokoh-tokoh penafsir falsafi?
5.      Apa kekurangan dan kelebihan tafsir falsafi?
C.    Tujuan
1.      Memahami tentang tafsir falsafi.
2.      Memahami metode penafsiran falsafi.
3.      Mengetahui sejarah munculnya tafsir falsafi.
4.      Mengetahui tokoh-tokoh tafsir falsafi.
5.      Mengetahui kekurangan dan kelebihan tafsir falsafi.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Tafsir falsafi menurut Quraisy Shihab adalah upaya penafsiran Al Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat.[3]  Pada saat agama Islam terdahulu, buku-buku filsafat diterjemahkan dari bahasa yang berbeda ke bahasa Arab. Bersamaan dengan itu pada masa khalifah Abbasyiyah dilakukan juga penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa arab, diantara buku-buku yang diterjemahkan adalah buku-buku filsafat yang akhirnya di pelajari oleh umat islam.[4] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia filsafat sendiri adalah teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan.[5]
Jadi tafsir falsafi yaitu corak tafsir yang menggunakan pendekatan yang mendasar karena metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih luas meskipun kebenarannya masih diragukan.
Dalam menyikapi penafsiran para filosof kita harus cermat dan  kritis karena tidak mungkin dalam menafsirkan dan memahami ayat al-Qur’an meskipun dengan pemikiran yang begitu dalam masih terdapat yang tidak sesuai atau tidak sejalan dengan yang dimaksud dengan ayat tersebut. Meskipun begitu kita harus tetap menghargai usaha para filosof dalam memahami al-Qur’an. Jadi kita tidak langsung menerima hasil penafsiran para filosof  apalagi kalau menjadikan ragu terhadap keyakinan kita dan sampai menimbulkan kesesatan.
B.     Metode Penafsiran Falsafi
Ada dua metode dalam melakukan penafsiran bercorak falsafi, yaitu:
1.         Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan cara membenturkannya dengan teori-teori filsafat yang ada. Kemudian, apabila tidak bertentangan dengan al-Qur’an maka penfasiran itu akan ditolak dan sebaliknya. Penafsiran dengan jalan inilah yang dilakukan oleh Fakhruddin al-Razi Mafatiḥ al-Ghayb dan al-Ṭaba’ṭaba’i dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an
2.         Menafsirkan dan memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan ide atau teori filsafat; artinya, pemikiran filsafat atau teori filsafat dijadikan sebagai bahan untuk menafsirkan dan memahami ayat-ayat al-Qur’an. Penafsiran seperti ini lah yang dilakukan oleh al-Farabi, Ibnu Sina dan Ikhwan al-Ṣafa.
C.     Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi
Pada saat ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, sedangkan di antara buku-buku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku karangan para Filosof seperti Aristoteles dan Plato, maka dalam menyikapi hal ini ulama Islam terbagi kepada dua golongan, sebagai berikut:
1.      Golongan pertama menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof tersebut. Mereka tidak mau menerimanya, oleh karena itu mereka memahami ada diantara yang bertentangan dengan aqidah dan agama.  Bangkitlah mereka dengan menolak buku-buku itu dan menyerang paham-paham yang dikemukakan di dalamnya, membatalkan argumen-argumennya, mengharamkannya untuk dibaca dan menjauhkannya dari kaum muslimin
Di antara yang bersikap keras dalam menyerang para filosof dan filsafat adalah Hujjah al-Islam al-Imam Abu Hamid Al-Ghazaly. Oleh karena itu ia mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka, Ibnu Sina dan Ibn Rusyd. Demikian pula Imam al-Fakhr Al-Razy di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan kemudian membatalkan teori-teori filsafat mereka, karena bernilai bertentangan dengan agama dan al-Qur’an.
2.      Sebagian ulama Islam yang lain, justru mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan dapat menerima sepanjang tidak bertentangan dengan dengan norma-norma (dasar) Islam, berusaha memadukan antara filsafat dan agama dan menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara keduanya.
Golongan ini hendak menafisrkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan teori-teori filsafat mereka semata, akan tetapi mereka gagal, karena tidaklah mungkin nash al-Qur’an mengandung teori-teori mereka dan sama sekali tidak mendukungnya.
Muhammad Husain Al-Dzahabi, menanggapi sikap golongan ini, berkata “Kami tidak pernah mendengar ada seseorang dari para filosof yang mengagung-agungkan filasafat, yang mengarang satu kitab tafsir Al-Qur’an yang lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian dari pemahaman-pemahaman mereka terhadap al-Qur’an yang berpencar-pencar dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan mereka.[6]
D.    Tokoh-tokoh Tafsir Falsafi
1.      Al Faraby
Metode Tafsir yang digunakan oleh al-Faraby sama dengan Ibn Sina, yaitu sama-sama menilai al-Qur’an dengan filsafat. Dalam kitabnya “Fushus al-Hikam” ia menafsirkan surah al-Hadid ayat 3 dengan pendekatan filosofis:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dia menafsirkan ayat tersebut berdasarkan filsafat Plato tentang kekadiman alam, ia menyatakan bahwa wujud pertama ada dengan sendirinya. Setiap wujud yang lain berasa dari wujud yang pertama. Alam itu awal (qadim) karena kejadiannya paling dekat dengan wujud pertama. Sedangkan tafsir ia merupakan wujud yang terakhir ialah segala sesuatu yang diteliti, sebab-sebabnya akan berakhir pada-Nya. Dialah wujud terakhir karena Dia tujuan akhir yang hakiki dalam setiap proses. Dialah kerinduan utama karena itu Dia akhir dari segala tujuan.[7]
2.      Ikhwanus Shofa
Penafsiran falsafi terhadap al-Qur’an juga dijumpai kitab karangan Ikhwanus Ṣhofa, yang sejarah perkembangan dan pembentukannya masih belum banyak diketahui. Banyak pendapat mengatakan bahwa mereka adalah keturunan Ismā’īli. Ketika menafsirkan surga dan neraka, misalnya, Ikhwanus Ṣhofa menyamakannya surga dengan alam perbintangan dan neraka dengan alam di bawah perbintangan, yaitu dunia. Dikatakan pula bahwa lepas naiknya ke alam perbintangan sesungguhnya adalah lepasnya jiwa dari jasad. (yang tidak mempunyai keburukan perilaku atau jiwa yang suci) menuju ke surga, yaitu alam perbintangan yang tidak dapat dijangkau oleh indera manusia. Sementara itu, jiwa kotor tidak dapat masuk ke dalam surga. Ikhwanus Shofa menafsirkan demikian karena berlandaskan pada Hadis Nabi yang menyatakan bahwa “surga di langit dan neraka itu di bumi”. Selanjutnya, Ikhwanus Shofa juga menafsirkan QS. al-An’ām 112 sebagai berikut:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
Ia menafsirkan kata syaitan sebagai “dengan jiwa yang buruk yang terlepas dari jasad dan tidak bisa dijangkau oleh indra.” Ikhwan Ṣhofa meyakini bahwa al-Qur’an itu hanya simbol dari hakikat yang jauh melampui pemikiran manusia. Nabi Muhammad Saw. memberikan kabar kepada umatnya dengan apa yang diberikan padanya dan apa yang diyakininya baik secara tersembunyi dan nyata; ia kemudian merumuskan hal tersebut dan menyampaikannya kepada manusia dengan lafadh mushtarakah dan makna yang mengandung takwil yang dapat dijangkau oleh pikiran manusia.[8]
3.      Ibnu Sina
Metode Ibnu Sina dalam menafsirkan al-Qur’an  adalah dengan memandang al-Qur’an dan filsafat, kemudian menafsirkan al-Qur’an secara filsafat murni. Misalnya dia jeaskan kebenaran-kebenaran agama ditinjau dari tinjauan filsafat. Karena menurutnya al-Qur’an itu sebagai symbol yang sulit dipahami oleh orang-orang awam dan hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu.
Salah satu ayat yang ditafsirkan oleh Ibnu Sina adalah surah al-Haqqah ayat 17:
وَالْمَلَكُ عَلَىٰ أَرْجَائِهَا ۚ وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ
Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka.
Menurut Ibnu Sina, Arsy adalah planet ke-9 yang merupakan pusat planet-planet lain, sedangkan delapan malaikat adalah delapan planet penyangga yang berada di bawahnya. Ia menyatakan bahwa Arsy itu merupakan akhir wujud ciptaan jasmani. Kalangan antromorfosis yang menganut faham syari’at berpendapat bahwa Allah berada di atas Arsy tetapi bukan berarti ia berdiam di sana (hulul) sebagaimana juga pada filosof beranggapan bahwa akhir ciptaan yang bersifat jasmani adalah planet ke-9 tersebut, dan Tuhan berada di sana tapi bukan dalam artian berdiam. Selanjutnya mereka menjelaskan bahwa planet itu bergerak dengan jiawa. Gerak tersebut bersifat esensial dan tidak, gerak esensial dapat bersifat alamiah dan nafsiyah. Kemudian mereka jelaskan bahwa planet-planet tersebut tidak akan binasa dan tidak akan berubah sepanjang masa. Dalam syariat disebutkan bahwa malaikat itu hidup, tidak mati seperti layaknya manusia, maka jika dikatakan bahwa panet-planet itu mahluk hidup yang dapat berfikir dan mahluk hidup yang dapat berfikir disebut malaikat, maka panet-planet tersebut dinamakan malaikat.[9]
E.     Kelebihan dan Kelemahan
Tafsir Falsafi Salah satu kelebihan tafsir ini adalah mendekatkan tafsir al-Qur’an dengan cakupan filsafat. Oleh karena itu, tafsir falsafi ini menunjukkan betapa luas dan dalamnya kandungan makna al-Qur’an. Pendekatan tafsir ini dapat menambah pemikiran pada perkembangan ilmu pengetahuan Islam, khususnya dalam bidang ilmu tafsir dan filsafat. Di samping itu, penafsiran falsafi ini sebenarnya penafsiran yang rumit, karena membutuhkan penjelasan yang lebih mendalam karena tidak semua orang mempunyai kemampuan dalam bidang tersebut. Karenanya, memperdalam tafsir falsafi akan menjadikan al-Qur’an seperti sains yang mampu didekati dengan pendekatan apapun.
Sedangkan kelemahan tafsir ini secara umum adalah pola filsafat. Karena filsafat pada dasarnya adalah disiplin ilmu yang bukan dari Islam sendiri, maka ada kekhawatiran berlebihan tafsir ini akan membahayakan akidah Islam. Selain itu, penafsiran bercorak filsafat ini sering terlihat terlalu mendalam dalam memaknai ayat, sehingga menurut saya terkesan berlebihan.




BAB III
PENUTUP
Simpulan
1.         Tafsir falsafi adalah upaya penafsiran Al Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat.
2.         Metode penafsiran falsafi :
a.          Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan cara membenturkannya dengan teori-teori filsafat yang ada. Kemudian, apabila tidak bertentangan dengan al-Qur’an maka penfasiran itu akan ditolak.
b.         Menafsirkan dan memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan ide atau teori filsafat.
3.      Sejarah munculnya tafsir falsafi pada saat ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah.
4.      Tokoh-tokoh penafsir falsafi diantaranya adalah al-Farabi, Ikhwanus Shofa, Ibnu Sina, dll.
5.      Kelebihan tafsir falsafi adalah adalah mendekatkan tafsir al-Qur’an dengan cakupan filsafat. Sehingga menunjukkan betapa luasnya pemahaman al-Qur’an. Sedangkan kelemahannya adalah kekhawatiran jika menyalahi akidah.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridl, Hasan, Sejarah Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994)
Al-Dzahabi, Muhammad Husein, al-Tafsir wa al-Mufassirun, ( Kairo: Maktabah Wahbah, 2002), juz II
Maktabah Syamilah
Shihab, Quraish, Membumikan al-Qur’an, (Bandung : Mizan Pustaka, 2014)
Syihab, Quraisy dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta: 1999
Yuyun Zunairoh, “Penafsiran Al-Qur’an Dengan Filsafat: Telaah Kitab MafātīḤ Al-Ghayb Fakhruddīn Al-Rāzī. Vol. 24 No. 1 Januari 2015



[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung : Mizan Pustaka, 2014), hal.105
[2] Hasan al-Aridl, Sejarah Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994), h. 7.
[3] Quraisy Syihab dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta: 1999, hlm. 182
[4] Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, ( Kairo: Maktabah Wahbah, juz II, 2002), hlm. 308
[5] KBBI
[6] Ali Hasan al Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, PT Raja Grafindo Persada,  Jakarta: 1994, hlm. 61
[7]Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, ( Kairo: Maktabah Wahbah, juz II, 2002), hlm. 310
[8] Yuyun Zunairoh, “Penafsiran Al-Qur’an Dengan Filsafat: Telaah Kitab MafātīḤ Al-Ghayb Fakhruddīn Al-Rāzī. Vol. 24 No. 1 Januari 2015, hlm. 124
[9]Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, ( Kairo: Maktabah Wahbah, juz II, 2002), hlm. 313