MAKALAH TAFSIR
FALSAFI
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Al-Qur’an
Dosen Pengampu : Farid Hasan, S.Th I, M. Hum.
Disusun Oleh :
1.
Wiwik
Ayu Hidayati (53020160001)
JURUSAN ILMU
AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya sebagai hudan
linnas dan sebagai kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari zaman
kegelapan menuju zaman terang benderang. Pada saat al-Qur’an
diturunkan, Rasulullah yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan
al-Qur’an khusunya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. [1]Penafsiran
al-Qur’an memiliki peran penting dalam kemajuan umat. Penafsiran-penafsiran itu
dapat mencerminkan perkembangan dan berbagai corak pemikiran penafsiran al-Qur’an.
Penfsiran al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang
sejak masa awal Islam. sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui
kandungan al-Qur’an serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka
tafsir al-Qur’an pun terus berkembang, baik pada masa uama salaf maupun khalaf
bahkan sampai dewasa ini. Pada tahapan-tahapan perkembangannya, muncullah karakteristik yang
berbeda-beda dalam metode maupun coraknya.[2] Adapun
macam-macam corak tafsir al-Qur’an antara
lain: tafsir falsafi, tafsir fiqhi, tafsir sufi, dll. Pada makalah ini
saya akan membahas tafsir falsafi. Tafsir Falsafi berarti Penjelasan tentang
kebenaran makna ayat Quran dengan menggunakan petunjuk yang nyata, serta
menggunakan pola pikir yang radikal, sistematis dan universal agar didapat satu
kebenaran yang rasional.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang di maksud dengan tafsir falsafi?
2.
Bagaimana
metode penafsiran menggunakan tafsir falsafi?
3.
Bagaimana
sejarah munculnya tafsir falsafi?
4.
Siapa
tokoh-tokoh penafsir falsafi?
5.
Apa
kekurangan dan kelebihan tafsir falsafi?
C.
Tujuan
1.
Memahami
tentang tafsir falsafi.
2.
Memahami
metode penafsiran falsafi.
3.
Mengetahui
sejarah munculnya tafsir falsafi.
4.
Mengetahui
tokoh-tokoh tafsir falsafi.
5.
Mengetahui
kekurangan dan kelebihan tafsir falsafi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tafsir
falsafi menurut Quraisy Shihab adalah upaya penafsiran Al Qur’an dikaitkan
dengan persoalan-persoalan filsafat.[3] Pada saat agama Islam terdahulu, buku-buku
filsafat diterjemahkan dari bahasa yang berbeda ke bahasa Arab. Bersamaan
dengan itu pada masa khalifah Abbasyiyah dilakukan juga penerjemahan buku-buku
asing ke dalam bahasa arab, diantara buku-buku yang diterjemahkan adalah
buku-buku filsafat yang akhirnya di pelajari oleh umat islam.[4] Sedangkan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia filsafat sendiri adalah teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan.[5]
Jadi
tafsir falsafi
yaitu corak tafsir yang menggunakan pendekatan yang mendasar karena metode
berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran
makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih luas meskipun
kebenarannya masih diragukan.
Dalam menyikapi penafsiran para
filosof kita harus cermat dan kritis karena tidak mungkin dalam
menafsirkan dan memahami ayat al-Qur’an meskipun dengan pemikiran yang begitu
dalam masih terdapat yang tidak sesuai atau tidak sejalan dengan yang dimaksud
dengan ayat tersebut. Meskipun begitu kita harus tetap menghargai usaha para
filosof dalam memahami al-Qur’an. Jadi kita tidak langsung menerima hasil
penafsiran para filosof apalagi kalau menjadikan ragu terhadap
keyakinan kita dan sampai menimbulkan kesesatan.
B.
Metode Penafsiran Falsafi
Ada dua metode dalam melakukan penafsiran bercorak falsafi, yaitu:
1.
Menafsirkan
ayat al-Qur’an dengan cara membenturkannya dengan teori-teori filsafat yang
ada. Kemudian, apabila tidak bertentangan dengan al-Qur’an maka penfasiran itu
akan ditolak dan sebaliknya. Penafsiran dengan jalan inilah yang dilakukan oleh
Fakhruddin al-Razi Mafatiḥ al-Ghayb dan al-Ṭaba’ṭaba’i dalam al-Mizan fi Tafsir
al-Qur’an
2.
Menafsirkan
dan memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan ide atau teori filsafat; artinya,
pemikiran filsafat atau teori filsafat dijadikan sebagai bahan untuk
menafsirkan dan memahami ayat-ayat al-Qur’an. Penafsiran seperti ini lah yang
dilakukan oleh al-Farabi, Ibnu Sina dan Ikhwan al-Ṣafa.
C.
Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi
Pada saat ilmu-ilmu agama dan science mengalami
kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah kekuasaan Islam dan
gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa
khalifah Abbasiyah, sedangkan di antara buku-buku yang diterjemahkan itu adalah
buku-buku karangan para Filosof seperti Aristoteles dan Plato, maka dalam
menyikapi hal ini ulama Islam terbagi kepada dua golongan, sebagai berikut:
1.
Golongan pertama menolak ilmu-ilmu yang
bersumber dari buku-buku karangan para filosof tersebut. Mereka tidak mau
menerimanya, oleh karena itu mereka memahami ada diantara yang bertentangan
dengan aqidah dan agama. Bangkitlah mereka dengan menolak buku-buku
itu dan menyerang paham-paham yang dikemukakan di dalamnya,
membatalkan argumen-argumennya, mengharamkannya untuk dibaca dan
menjauhkannya dari kaum muslimin
Di antara yang bersikap keras dalam menyerang
para filosof dan filsafat adalah Hujjah al-Islam al-Imam Abu Hamid
Al-Ghazaly. Oleh karena itu ia mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab
lain untuk menolak paham mereka, Ibnu Sina dan Ibn Rusyd. Demikian pula Imam
al-Fakhr Al-Razy di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan
kemudian membatalkan teori-teori filsafat mereka, karena bernilai bertentangan
dengan agama dan al-Qur’an.
2.
Sebagian ulama Islam yang lain, justru
mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan dapat menerima sepanjang tidak
bertentangan dengan dengan norma-norma (dasar) Islam, berusaha memadukan antara
filsafat dan agama dan menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara
keduanya.
Golongan ini
hendak menafisrkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan teori-teori filsafat mereka
semata, akan tetapi mereka gagal, karena tidaklah
mungkin nash al-Qur’an mengandung teori-teori mereka dan sama sekali
tidak mendukungnya.
Muhammad Husain
Al-Dzahabi, menanggapi sikap golongan ini, berkata “Kami tidak pernah mendengar
ada seseorang dari para filosof yang mengagung-agungkan filasafat, yang
mengarang satu kitab tafsir Al-Qur’an yang lengkap. Yang kami temukan dari
mereka tidak lebih hanya sebagian dari pemahaman-pemahaman mereka terhadap
al-Qur’an yang berpencar-pencar dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan
mereka.[6]
D.
Tokoh-tokoh Tafsir Falsafi
1.
Al Faraby
Metode Tafsir
yang digunakan oleh al-Faraby sama dengan Ibn Sina, yaitu sama-sama menilai
al-Qur’an dengan filsafat. Dalam kitabnya “Fushus al-Hikam” ia menafsirkan
surah al-Hadid ayat 3 dengan pendekatan filosofis:
هُوَ
الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan
Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dia menafsirkan
ayat tersebut berdasarkan filsafat Plato tentang kekadiman alam, ia menyatakan
bahwa wujud pertama ada dengan sendirinya. Setiap wujud yang lain berasa dari
wujud yang pertama. Alam itu awal (qadim) karena kejadiannya paling dekat
dengan wujud pertama. Sedangkan tafsir ia merupakan wujud yang terakhir ialah
segala sesuatu yang diteliti, sebab-sebabnya akan berakhir pada-Nya. Dialah
wujud terakhir karena Dia tujuan akhir yang hakiki dalam setiap proses. Dialah
kerinduan utama karena itu Dia akhir dari segala tujuan.[7]
2.
Ikhwanus Shofa
Penafsiran
falsafi terhadap al-Qur’an juga dijumpai kitab karangan Ikhwanus Ṣhofa, yang
sejarah perkembangan dan pembentukannya masih belum banyak diketahui. Banyak
pendapat mengatakan bahwa mereka adalah keturunan Ismā’īli. Ketika menafsirkan
surga dan neraka, misalnya, Ikhwanus Ṣhofa menyamakannya surga dengan alam
perbintangan dan neraka dengan alam di bawah perbintangan, yaitu dunia.
Dikatakan pula bahwa lepas naiknya ke alam perbintangan sesungguhnya adalah
lepasnya jiwa dari jasad. (yang tidak mempunyai keburukan perilaku atau jiwa
yang suci) menuju ke surga, yaitu alam perbintangan yang tidak dapat dijangkau
oleh indera manusia. Sementara itu, jiwa kotor tidak dapat masuk ke dalam
surga. Ikhwanus Shofa menafsirkan demikian karena berlandaskan pada Hadis Nabi
yang menyatakan bahwa “surga di langit dan neraka itu di bumi”. Selanjutnya, Ikhwanus
Shofa juga menafsirkan QS. al-An’ām 112 sebagai berikut:
وَكَذَٰلِكَ
جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي
بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا
فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
Dan
demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan
(dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada
sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).
Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka
tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
Ia menafsirkan kata syaitan sebagai
“dengan jiwa yang buruk yang terlepas dari jasad dan tidak bisa dijangkau oleh
indra.” Ikhwan Ṣhofa meyakini bahwa al-Qur’an itu hanya simbol dari hakikat
yang jauh melampui pemikiran manusia. Nabi Muhammad Saw. memberikan kabar
kepada umatnya dengan apa yang diberikan padanya dan apa yang diyakininya baik
secara tersembunyi dan nyata; ia kemudian merumuskan hal tersebut dan
menyampaikannya kepada manusia dengan lafadh mushtarakah dan makna yang
mengandung takwil yang dapat dijangkau oleh pikiran manusia.[8]
3. Ibnu Sina
Metode Ibnu Sina dalam menafsirkan
al-Qur’an adalah dengan memandang al-Qur’an dan filsafat, kemudian
menafsirkan al-Qur’an secara filsafat murni. Misalnya dia jeaskan
kebenaran-kebenaran agama ditinjau dari tinjauan filsafat. Karena menurutnya
al-Qur’an itu sebagai symbol yang sulit dipahami oleh orang-orang awam dan hanya
bisa dipahami oleh orang-orang tertentu.
Salah satu ayat yang ditafsirkan oleh Ibnu Sina
adalah surah al-Haqqah ayat 17:
وَالْمَلَكُ عَلَىٰ أَرْجَائِهَا ۚ وَيَحْمِلُ عَرْشَ
رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ
Dan
malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan
orang malaikat menjunjung 'Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka.
Menurut Ibnu
Sina, Arsy adalah planet ke-9 yang merupakan pusat planet-planet lain,
sedangkan delapan malaikat adalah delapan planet penyangga yang berada di
bawahnya. Ia menyatakan bahwa Arsy itu merupakan akhir wujud ciptaan jasmani.
Kalangan antromorfosis yang menganut faham syari’at berpendapat bahwa Allah
berada di atas Arsy tetapi bukan berarti ia berdiam di sana (hulul) sebagaimana
juga pada filosof beranggapan bahwa akhir ciptaan yang bersifat jasmani adalah
planet ke-9 tersebut, dan Tuhan berada di sana tapi bukan dalam artian berdiam.
Selanjutnya mereka menjelaskan bahwa planet itu bergerak dengan jiawa. Gerak
tersebut bersifat esensial dan tidak, gerak esensial dapat bersifat alamiah dan
nafsiyah. Kemudian mereka jelaskan bahwa planet-planet tersebut tidak akan
binasa dan tidak akan berubah sepanjang masa. Dalam syariat disebutkan bahwa
malaikat itu hidup, tidak mati seperti layaknya manusia, maka jika dikatakan
bahwa panet-planet itu mahluk hidup yang dapat berfikir dan mahluk hidup yang
dapat berfikir disebut malaikat, maka panet-planet tersebut dinamakan malaikat.[9]
E.
Kelebihan dan Kelemahan
Tafsir Falsafi Salah satu kelebihan tafsir ini adalah mendekatkan
tafsir al-Qur’an dengan cakupan filsafat. Oleh karena itu, tafsir falsafi ini
menunjukkan betapa luas dan dalamnya kandungan makna al-Qur’an. Pendekatan
tafsir ini dapat menambah pemikiran pada perkembangan ilmu pengetahuan Islam,
khususnya dalam bidang ilmu tafsir dan filsafat. Di samping itu, penafsiran
falsafi ini sebenarnya penafsiran yang rumit, karena membutuhkan penjelasan
yang lebih mendalam karena tidak semua orang mempunyai kemampuan dalam bidang
tersebut. Karenanya, memperdalam tafsir falsafi akan menjadikan al-Qur’an seperti
sains yang mampu didekati dengan pendekatan apapun.
Sedangkan kelemahan tafsir ini secara umum adalah pola filsafat.
Karena filsafat pada dasarnya adalah disiplin ilmu yang bukan dari Islam sendiri,
maka ada kekhawatiran berlebihan tafsir ini akan membahayakan akidah Islam.
Selain itu, penafsiran bercorak filsafat ini sering terlihat terlalu mendalam
dalam memaknai ayat, sehingga menurut saya terkesan berlebihan.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
1.
Tafsir
falsafi adalah
upaya penafsiran Al Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat.
2.
Metode penafsiran falsafi :
a.
Menafsirkan
ayat al-Qur’an dengan cara membenturkannya dengan teori-teori filsafat yang
ada. Kemudian, apabila tidak bertentangan dengan al-Qur’an maka penfasiran itu
akan ditolak.
b.
Menafsirkan
dan memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan ide atau teori filsafat.
3.
Sejarah munculnya tafsir falsafi pada saat
ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam
berkembang di wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-buku asing
ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah.
4.
Tokoh-tokoh
penafsir falsafi diantaranya adalah al-Farabi, Ikhwanus Shofa, Ibnu Sina, dll.
5.
Kelebihan
tafsir falsafi adalah adalah mendekatkan tafsir al-Qur’an dengan cakupan
filsafat. Sehingga menunjukkan betapa luasnya pemahaman al-Qur’an. Sedangkan
kelemahannya adalah kekhawatiran jika menyalahi akidah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridl,
Hasan, Sejarah Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT. Grafindo Persada,
1994)
Al-Dzahabi, Muhammad Husein, al-Tafsir wa al-Mufassirun, ( Kairo:
Maktabah Wahbah, 2002), juz II
http://repository.uinbanten.ac.id/1409/11/Bab%207%20-%20Tafsir%20Al-Qur%E2%80%99an.pdf (diakses pada Ahad, 14.00)
Maktabah Syamilah
Shihab, Quraish, Membumikan al-Qur’an, (Bandung : Mizan Pustaka,
2014)
Syihab, Quraisy
dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta: 1999
Yuyun Zunairoh, “Penafsiran Al-Qur’an Dengan Filsafat: Telaah
Kitab MafātīḤ Al-Ghayb Fakhruddīn Al-Rāzī. Vol. 24 No. 1 Januari 2015
[4] Muhammad
Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, ( Kairo: Maktabah Wahbah,
juz II, 2002), hlm. 308
[5] KBBI
[6] Ali Hasan al Aridl, Sejarah
dan Metodologi Tafsir, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1994,
hlm. 61
[7]Muhammad Husein
Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, ( Kairo: Maktabah Wahbah, juz
II, 2002), hlm. 310
[8] Yuyun
Zunairoh, “Penafsiran Al-Qur’an Dengan Filsafat: Telaah Kitab MafātīḤ
Al-Ghayb Fakhruddīn Al-Rāzī. Vol. 24 No. 1 Januari 2015, hlm. 124
[9]Muhammad Husein
Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, ( Kairo: Maktabah Wahbah, juz
II, 2002), hlm. 313
Tidak ada komentar:
Posting Komentar